Penjelasan Kitab Tajilun Nada (Bag. 16): Lanjutan Al-Asma As-Sittah
Ibnu Hisyam mengisyaratkan bahwa ذُوا مَالٍ tidak termasuk dalam al-asma as-sittah, kecuali jika kata tersebut bermakna pemilik (صَاحِبٌ). Contohnya adalah
جَاءَ ذُوامَالٍ
“Pemilik harta telah datang.”
Maksud dari contoh di atas adalah
صَاحِبُ مَالٍ
“Pemilik harta.”
Berbeda dengan ذُوا yang bermakna al-maushulah (kata sambung). Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah tersebut tidak termasuk al-asma as-sittah, karena kata ذُوا yang bermakna al-maushulah memiliki makna الَّذِي (yang). Pendapat ini dianut oleh Bani Thayyi’. Kata ذُوا yang bermakna al-maushulah bersifat mabni, tidak mu’rab.
Contohnya adalah
جَاءَ ذُوْا سَافَرَ
“Orang yang bersafar telah datang.”
Kata ذُوا tersebut adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun dalam kedudukan sebagai isim marfu’ yang berfungsi sebagai fa’il.
Maksud dari contoh di atas adalah
جَاءَ الَّذِي سَافَرَ
“Orang yang bersafar telah datang.”
Jumlah سَافَرَ tersebut adalah silah.
Kata ذُوْا disyaratkan untuk di-idhafah-kan kepada isim jenis zahir, bukan sifat. Contohnya adalah
زَمِيْلِي ذُوْا أَدَبٍ
“Temanku adalah orang yang beradab.”
Maka, kata أَدَب tersebut termasuk isim jenis.
Contohnya dalam firman Allah adalah
وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia meskipun mereka zalim.” (QS. Ar-Ra’d: 6)
Huruf الَّامُ yang bergaris bawah pada contoh di atas adalah huruf ibtida’ (huruf yang berfungsi untuk mengawali kalimat). Adapun kata ذُو yang terletak setelah huruf الَّامُ tersebut berkedudukan sebagai khabar inna marfu’. Tanda marfu’-nya adalah dengan huruf wawu, karena kata tersebut termasuk bagian dari al-asma as-sittah.
Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah,
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ
“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.” (QS. Al-Isra’: 26)
Kata ذَا tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda alif, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata الْقُرْبٰى, yang berkedudukan sebagai mudhaf ilaih majrur dengan tanda kasrah muqaddarah karena adanya uzur.
Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah,
هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ
“Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal?” (QS. Al-Fajr: 5)
Kata ذِيْ pada contoh di atas berkedudukan sebagai majrur dengan tanda ya’, serta berfungsi sebagai mudhaf dari kata حِجْر.
Yang dimaksud dengan isim jenis adalah isim jamid, bukan isim musytaq. Contohnya adalah kata العلم، المال، والفضل. Adapun kata قائم bukan termasuk isim jamid, melainkan isim musytaq.
Contoh dalam kalimat adalah
جَاءَنِي قَائِمٌ
“Orang yang berdiri telah datang kepadaku.”
Maka, tidak diperbolehkan menggunakan kata قائم tersebut.
Ibnu Hisyam mengisyaratkan penggunaan kata فُوْهُ. Kata tersebut tidak di-i’rab dengan huruf, kecuali jika huruf mim-nya dihapus.
Contohnya adalah
فُوْكَ رَائِحَتَهُ طَيِّبَةً
“Mulutmu baunya harum.“
Kata yang bergaris bawah di atas marfu‘ dengan tanda wawu.
نَظِّفْ فَاكَ بِالسِوَاكِ
“Bersihkan mulutmu dengan siwak.”
Kata yang bergaris bawah di atas manshub dengan tanda alif.
كَرِحْتُ رَائِحَةَ فِيْكَ
“Saya tidak suka bau mulutmu.”
Kata yang bergaris di atas majrur dengan tanda ya’. Jika huruf mim pada kata tersebut tetap ada, maka di-i’rab dengan harakat.
Contohnya adalah
هَذَا فَامٌ
“Ini adalah mulut.”
نظفت فاما
“Saya membersihkan mulut.”
وَنَظَرْتُ إِلَى فَامٍ
“Saya melihat ke mulut.”
Al-asma as-sittah berikutnya adalah حَمُوْهَا, yang di-idhafah-kan kepada dhamir muannats, yaitu dhamir ها.
الحَمُ secara bahasa artinya adalah kerabat istri dari keluarga suami, seperti bapaknya suami, pamannya suami, atau keponakan suami. Namun, terkadang istilah ini juga digunakan untuk kerabat suami dari keluarga istri, dengan ungkapan حَمُوْهُ, yang artinya iparnya (dia laki-laki). Kata tersebut di-idhafah-kan kepada mudzakar.
Kemudian terkait al-asma as-sittah, الْهَنُ (sesuatu/anu). Yang paling fasih adalah dengan menggunakan هَنٍ, sebagaimana kata غَادٍ, maksudnya adalah keduanya di-i’rab dengan harakat damah, fathah, atau kasrah. Isim ini digunakan sebagai kata kiasan untuk isim jenis.
Contohnya adalah
هَذَا هَنُ زَيْدٍ
“Ini anu/sesuatu milik Zaid.”
Maksud dari kalimat di atas bisa bermakna
هَذَا فَرْسُ زَيْدٍ
“Ini kuda milik Zaid.”
Ada juga yang berpendapat bahwa kata الْهَنُ digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bagus untuk diungkapkan secara langsung. Contohnya dalam hadis adalah
مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلَا تكنوا
“Barangsiapa yang berbangga-bangga karena nasabnya seperti orang jahiliah, hendaklah kalian gigitan dia di anu (alat kelamin) bapaknya dan janganlah kalian panggil dengan julukan yang sebagai kebanggaannya.”
Kata الْهَنُ jika digunakan tanpa di-idhafah-kan, maka kata tersebut bukan termasuk al-asma as-sittah, melainkan isim manqush, yang maksudnya adalah huruf lam fi’il-nya dihapus, yaitu berupa huruf wawu. Asal dari kata tersebut adalah هَنَوٌ dengan wazan فعَلٌ dan di-i’rab dengan harakat.
Contohnya adalah
هَذَا هَنٌ
“Ini anu/sesuatu.”
وَرَأَيْتُ هَنًا
“Aku telah melihat anu/sesuatu.”
وَمَرَرْتُ بِهَنٍ
“Aku telah melewati anu/sesuatu.”
Apabila kata الْهَنُ tersebut di-idhafah-kan, maka mayoritas orang Arab memaksudkan kata tersebut di-i’rab dengan harakat.
Contohnya adalah
هَذَا هَنُكَ
“Ini anu-mu.”
وَرَأَيْتُ هَنَكَ
“Aku telah melihat anu-mu.”
وَمَرَرْتُ بِهَنِكَ
“Aku telah melewati anu-mu.”
Minoritas orang Arab meng-i’rab kata الْهَنُ dengan huruf wawu, alif, dan ya’. Mereka menganggap kata الْهَنُ tersebut sama dengan kata أب dan أخ, yaitu termasuk al-asma as-sittah.
Contohnya adalah
هَذَا هَنُوْكَ
“Ini anu-mu.”
وَرَأَيْتُ هَنَاكَ
“Aku telah melihat anu-mu.”
وَمَرَرْتُ بِهَنِيْكَ
“Aku telah melewati anu-mu.”
Oleh karena itu, kata الْهَنُ masuk dalam pembahasan al-asma as-sittah, karena sebagian kecil orang Arab menganggap kata tersebut sama seperti al-asma al-khamsah.
[Bersambung]
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel asli: https://muslim.or.id/103482-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-16-lanjutan-al-asma-as-sittah.html